IndonesiaBicara-Palangka Raya, (14/12/09). Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama dengan jaringan international yaitu Friend of the Earth International (FOEI) sudah terlibat aktif untuk mendorong solusi perubahan iklim yang berkeadilan dimana solusi terhadap perubahan iklim harus menghargai hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi atas prinsip-prinsip keselamatan rakyat, pemulihan keberlangsungan layanan alam, serta perlindungan produktifitas rakyat. Dalam hal ini, generasi sekarang maupun yang akan datang berhak terselamatkan dari dampak perubahan iklim serta mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim secara berkeadilan.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas di sela-sela kegiatannya di Sekretariat Walhi Kalimantan Tengah terkait dengan penyelenggaraan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of Parties (COP)-14 di Copenhagen, Denmark.
Sampai kini, menurut Ari Rompas, solusi terkait perubahan iklim lebih menguntungan negara maju. Bahkan, dalam forum UNFCCC yang sedang berlangsung di Copenhagen,pada 7-18 Desember 2009 telah beredar draft keputusan yang tidak memuat angka pengurangan emisi dari negara maju pada tahun 2020, melainkan menyinggung mekanisme offsetting (kredit karbon) sebagai pengurangan emisi domestik sebagai suplemennya. Draft tersebut sudah dipersiapkan jauh hari sebelum pelaksanaan forum UNFCCC berlangsung oleh Amerika Serikat dan Denmark .
Hal tersebut ditandai dengan sikap Amerika Serikat dalam beberapa putaran perundingan iklim sebelumnya yang terus mengejar pertumbuhan ekonomi dan menghindari tanggung jawab penurunan emisi domestik mereka sedikitnya sebesar 40 persen seperti yang menjadi tuntutan dalam UNFCCC. Keengganan Amerika Serikat tersebut menjadi pemicu keengganan negara-negara lain untuk mengurangi emisi mereka sehingga menghambat tercapainya langkah kongkret dalam perundingan Copenhagen .
Walhi menyerukan kepada semua komponen masyarakat dunia untuk menuntut Negara Annex 1 yang dipimpin Amerika Serikat untuk menunjukan komitmen yang luas untuk menurunkan emisi dalam pembicaraan UNFCCC yang sedang berlangsung di Copenhagen pada 7-18 desember tahun ini. UNFCCC harus mendorong tercapainya kesepakatan internasional tentang perubahan iklim yang adil dan memadai, yang akan menjamin masa depan kita dan generasi yang akan datang. Kesepakatan tersebut selayaknya mengakui bahwa negara-negara maju telah membuat kerusakan iklim terbesar sehingga sudah seharusnya melakukan tindakan terlebih dahulu.
Adapun poin-poin tuntutannya adalah sebagai berikut:
1. Komitmen Negara-negara industri maju (terdaftar dalam “Annex I”) untuk mengurangi minimal 40% emisi dalam negeri mereka pada 2020, dengan menggunakan energi ramah lingkungan, transportasi yang lestari serta mengurangi kebutuhan energi.
2. Pengurangan emisi tidak boleh dicapai dengan pembelian kredit karbon dari negara-negara berkembang atau dengan pembelian hutan di negara-negara berkembang untuk “mengganti kerugian” pembuangan emisi yang berkelanjutan di dunia industri.
3. Negara-negara maju harus memberikan sumbangan uang kepada negara-negara berkembang agar dapat tumbuh dengan cara yang bersih, serta mengatasi banjir, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Kesepakatan tersebut selayaknya menjamin bahwa uang ini dibagikan secara adil dan transparan.
Tanpa komitmen tersebut, hasil kesepakatan dan solusi perubahan iklim yang muncul dalam berbagai forum lingkungan seperti UNFCCC malah akan menjadi ancaman baru terutama bagi negara-negara selatan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Indonesia dan khususnya Kalimantan Tengah akan terancam akibat dampak perubahan iklim dimana keselamatan warga menjadi taruhan karena banyak yang tidak mampu berdaptasi akibat perubahan iklim. (IF)
Komentar