IndonesiaBicara-Palangka Raya, 14 September 2009. Walhi Kalimantan Tengah mempertanyakan tentang sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bagi perusahaan industri kelapa sawit di Indonesia, yang disebut-sebut sebagai skenario untuk menaikkan harga jual minyak sawit di pasaran Eropa. Hal ini terungkap dalam diskusi terbuka yang di selenggarakan atas kerja sama SKH Radar Sampit danWalhi Kalteng dengan narasumber pewakilan dari BLH Kalteng, Dinas Perkebunan, dan Akademisi dari Unpar di Café Batimur Hotel Dandang Tingang pada Sabtu sore (12/09) sekaligus acara buka puasa bersama.
Acara yang dimoderatori oleh Nordin dari Save Our Borneo ini bertajuk Diskusi Terbuka dengan tema “Menyibak Skenario Dibalik Sertifikasi RSPO”, juga dihadiri oleh perwakilan dari Sawit Watch, Jeffry yang merupakan organisasi yang peduli dalam melakukan kajian mengenai perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Dalam diskusi, dibahas mengenai sertifikasi dari RSPO bagi perusahaan sawit yang menurut Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas sebagai strategi market oriented untuk keuntungan perusahaan sendiri. Padahal didalam pengurusan RSPO sendiri, terdapat ketentuan bagi pengelolaan lingkungan dan kepeduluan terhadap masyarakat sekitar yang dikenal dengan 8 Prinsip, 39 Kriteria dan 127 Indikator.
“RSPO masih sangat jauh dari yang diharapkan. Adanya perkebunan sawit cenderung menyebabkan konflik sosial dan perkembangannya berbanding lurus kedepannya,”ujar Arie Rompas.
Jeffry menambahkan bahwa skenario RSPO tersebut dalam pelaksanaannya di lapangan cenderung mengabaikan standar yang telah ditetapkan dalam sertifikat RSPO sendiri. Artinya secara konsep RSPO berupaya untuk menyelaraskan antara pengembangan perkebunan kelapa sawit tanpa mengabaikan pengelolaan sosial dan masyarakat, tetapi secara pelaksanaannya negosiasi yang dilakukan oleh perusahaan tidak pernah ada realisasi.
Selanjutnya, perwakilan Dinas Perkebunan Kalteng Eko F. Fayer mengatakan bahwa pada dasarnya sertifikasi RSPO mengandung nilai kebaikan bagi masyarakat sekitar perkebunan sawit sendiri, hanya saja masyarakat perlu lebih mamahami makna yang terkandung dalam RSPO.
Akademisi dari Unpar Andre L. Embang menambahkan bahwa selain RSPO dalam proses perizinan perkebunan sawit ada istilah Amdal yang merupakan dokumen resmi sebagai dasar hukum atas kegiatan sebuah perusahaan. Konsep RSPO sendiri mensyaratkan kepedulian perusahaan sawit terhadap pengelolaan lingkungan, walaupun pelaksanaannya tergantung dari perusahaan yang bersangkutan.
“Ini merupakan konsekuensi dalam pengelolaan lingkungan dalam pengusahaan Sumber Daya Alam,” ujar peneliti dari PPLH Unpar ini. (HH)
Komentar