IndonesiaBicara-Pontianak, (12/10/11). Ancaman disintegrasi di kawasan perbatasan merupakan hal wajar sebagai akibat keterbelakangan pembangunan. Namun persoalan ini diharapkan tidak dijadikan ajang proyek bagi pihak-pihak tertentu. “Kalau mau bangun perbatasan, benar-benar dibangun. Jangan dijadikan ajang untuk mencari proyek semata,” tegas Deman Huri Gustira, Direktur Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalbar kepada IndonesiaBicara.
Deman menegaskan, isu-isu yang bergulir di kawasan perbatasan sering dijadikan ajang bagi berbagai elemen untuk mencari kepentingan bisnis alias proyek. Bisnis dimaksud mulai dari penjagaan hingga proyek fisik. “Dana di pusat untuk pembangunan kawasan perbatasan memang sudah ada. Tapi realisasinya memang tidak seluruhnya sampai. Banyak yang terpotong,” ujar Deman.
Deman menegaskan, ajang kepentingan bisnis alias proyek di perbatasan ini sangat terbuka. Lucunya, kepentingan itu sering menyangkut persoalan yang sedikit aneh, seperti pergeseran patok batas. “Patok batas itu tidak mungkin bergeser karena secara internasional sudah ada titik koordinatnya. Kalau pun patok itu hilang, titik koordinat tidak akan bisa dipindahkan,” ujar Deman.
Atas dasar itu, wajar jika Deman merasa aneh jika ada yang meributkan persoalan patok batas tersebut. “Kecuali batas yang masuk dalam status quo,” ujar Deman.
Di perbatasan Kalbar dan Malaysia, khususnya di Desa Camar Wulan, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, ada lahan seluas 1.499 hektare. Lokasi itu ditetapkan status quo pasca-MoU 1978.
Patok batas A 88 sampai patok A 156 kawasan Camar Wulan, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh masuk dalam wilayah Malaysia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia kehilangan 1.499 hektare lahan. Berdasarkan pantauan yang dilakukan Tractates London tahun 1981, disepakati pengukuran batas negara harus sesuai watershed.
Tetapi kenyataannya, dari survei yang dilakukan tahun 1975 tidak ditemukan adanya watershed atau arah mata air pada SRTP 01/Swk. Begitu juga di Camar Wulan tidak ditemukan adanya watershed. Tetapi pada patok segitiga di pasir berumput terdapat watershed, sehingga layak diduga patok tersebut sebagai patok 01 buatan Belanda-Inggris.
Deman menegaskan, untuk lahan yang sudah ditetapkan status quo ini, Pemerintah Indonesia tidak boleh tinggal diam. Di atas lahan tersebut harus dilakukan aktivitas, seperti perkebunan atau sebagainya. “Harus ada aktivitas. Misalnya, aktivitas perkebunan,” imbuh Deman.
Menurut Deman, Malaysia tidak mendiamkan wilayah tersebut. Mereka sudah melakukan pengecekan pohon-pohon yang ada di sana dengan alasan untuk melakukan penelitian.“Indonesia harus juga melakukan aktivitas. Jika tidak bisa seperti Sipadan dan Ligitan yang dilepas ke Malaysia karena mereka melakukan aktivitas turis di sana,” pungkas Deman. (wra)
Komentar