IndonesiaBicara, Jakarta. Empat orang pemohon mengajukan pengujian materil Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. 15 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi.
Keempatnya ialah peneliti masalah terorisme dan Sekjen CeDSoS (Centre For Democratic And Social Justice Studies) Umar Abduh dan perwakilan Forum Kepemimpinan Pemuda Indonesia (FKPI) Haris Rusli, John Helmi Mempi, serta Hartsa Mashirul HR.
Ada beberapa pasal yang terdapat dalam UU terorisme itu, bertentangan dengan UUD 1945. Karena ada diataranya pasal yang mengecualikan tindakan terorisme terkait dengan politik, motif politik dan tujuan poltik. Umar Abduh menyayangkan pengkriminalisasian tindakan terorisme padahal Polri sendiri menyatakan teroris merupakan bagian dari peran ideologi dan peran politik.
“Teroris tidak mungkin ada unsur ada tujuan perdata ataupun kriminal. pasti sifatnya ideologis atau subversive”. Hal tersebut menurutnya bertentangan dengan ketatanegaraan.
“Padahal secara faktual Polri sendiri menyatakan teroris menruapakan bagian dari peran ideologi dan peran poltik, nuansanya itu politik”. Sedangkan UU subversif di Indonesia sudah dicabut, meski tidak serta merta subversi yang berjalan itu nyata, (secara -red) ekonomi-politik, tetap harusnya dihadapi dan diantisipasi.
Kelemahan dalam pasal tersebut ada tindakan terorisme yang tidak terorganisasi itu tidak bisa ditindak, artinya yang bisa ditindak yang terorgaisir, ada perintah dan kepengurusan. Menurut Umar, UU ini bisa digunakan teroris lepas dari jerat hukum. “Bisa jadi teroris mengatakan ‘saya tidak ada yang menyuruh, saya sendiri yang melakukan, maka tidak bisa dikenakan hukuman,” tuntas Umar (inong)
Komentar