IndonesiaBicara.com – Jakarta (8/9). Sudah 5 tahun lebih tapi kasus Munir belum bisa diselesaikan oleh pemerintahan SBY, demikian yang dikatakan oleh Usman Hamid (Koordinator Kontras), ketika diwawancarai secara eksklusif oleh IndonesiaBicara.com di kantor Kontras Jakarta.
Kita berharap penyelesaian kasus Munir itu bisa lebih jelas dan dalam 1 tahun pertama pemerintahan SBY paling tidak tokoh utama dibawa kembali ke pengadilan baik itu Muchdi Purwo Pranjono dan aktor lain yang juga ikut berperan dalam pembunuhan Munir.
Kejagung kelihatannya ragu dan tidak serius menyingkapi tuntutan peninjauan kembali, Jaksa Agung tidak cukup punya kesungguhan untuk membuktikan tuntutan, kelihatan lemah dan tidak cukup berani mengatakan bahwa peninjauan kembali cukup dimungkinkan walaupun tidak ada kertentuan yang jelas.
Putusan sebelumnya dimungkinkan, seperti Policarpus yang dulu di MA sudah dinyatakan tak bersalah untuk pembunuhannya, tapi di MA juga keputusan itu dicabut kembali bahkan hukumannya diperberat. Seharusnya Jaksa Agung tidak perlu ragu, jika ragu maka bisa dipastikan ada ketakutan dibalik ini.
Memang sejak awal tuntutan yang dilakukan tak sepenuhnya dilakukan. Contohnya tuntutan selama 15 tahun, jelas-jelas dakwaan membuktikan ada kesengajaan pembunuhan tapi hanya dituntut 15 tahun, ini menurut saya kinerja yang makin menurun dan kemunduran yang luar biasa dari Kejagung.
Kita juga berharap bahwa tim investigasi polisi diaktifkan kembali dengan berangkat dari bukti-bukti yang diperoleh selama ini, mana yang dipersidangan sudah dipergunakan secara maksimal dan mana yang belum. Bukti yang belum maksimal dipergunakan contohnya kenapa Budi Santoso tidak bisa dipanggil sebagai saksi, harusnya pemanggilannya bisa menjadi bukti baru.
Alat bukti lain yang dianggap lemah adalah call data records, rekaman percakapan lewat Telkom bisa diperkuat, saya tidak percaya polisi itu semua di era modern ini. Di bandara internasional seperti Singapura juga aneh, masak data CCTV nya tidak ada, bandara internasional tidak ada CCTV nya kan tidak bisa dipercaya, Hotel Mega aja ada CCTV.
Yang perlu dipertanyakan juga kenapa As’ad Said Ali tidak pernah dihadirkan, dia saksi penting yang menandatangani surat permintaan pada Garuda agar Polycarpus diangkat sebagai staf keamanan penerbangan, yang jika dihadirkan bisa membuktikan kesalahan terdakwa Muchdi. Dugaan saya orang seperti As’ad tidak punya hubungan hierarki dengan Muchdi, sehingga seharusnya tidak perlu ada ketakutan.
Saya pikir kultur BIN masih kultur militer. Bisa saja untuk kepentingan negara itu semua dikesampingkan, dengan alasan jika dihadirkan ke persidangan mungkin akan mempermalukan BIN secara kelembagaan.
Surat dari BIN untuk Garuda itu atas nama ‘dalam rangka mencegah bahaya terorisme’, ini berarti ada penyalahgunaan wewenang yang sangat besar dalam menanggulangi terorisme, apalagi sekarang yang katanya akan ada penambahan wewenang bagi BIN dan TNI dalam menanggulangi terorisme.
Muchdi sendiri bisa jadi masih menjadi figur yang masih harus dijaga nama baiknya, jika sudah melakukan kejahatan, ya harus diproses. Jika pernah menjadi Danjen Kopassus maka harusnya tidak melakukan kejahatan sekeji ini, sepengecut ini.
Masak seorang Kepala BIN, Hendropriyono membiarkan Muchdi dengan kepentingan pribadinya mengatasnamakan BIN. Disayangkan As’ad Said Ali yang memiliki latar belakang NU dan dekat dengan tokoh NU seperti Gus Dur dan akan diproyeksikan sebagai Kepala BIN dari kalangan sipil, masih membiarkan tindakan Muchdi sebagai pribadi menggunakan lembaga, seharusnya tidak dibiarkan.
Hendropriyono sendiri saat itu juga pasif, saat SBY jadi Presiden malah jadi makin pasif. Negara tidak diurus hanya karena afiliasi Hendropriyono lebih dekat pada Megawati. Lembaga BIN itu tidak diurus dengan baik. Padahal BIN itu kan strategis bagi keamanan nasional di Indonesia untuk mencegah kejahatan terorisme di Indonesia.
Budi Santoso yang saat ini ditempatkan oleh BIN dilingkup Deplu dan ditugaskan berada di KBRI Pakistan tidak bisa dihadirkan, sebenarnya ini negara atau paguyuban. Seolah jika mau membongkar ini dipengaruhi ancaman kekerasan, takut dibunuh, seperti Hakim Agung Syaefuddin Kartasasmita, atau seperti Munir sendiri.
Ini ketakutan yang membayangi aparat pemerintah untuk bekerja maksimal, dari kacamata politik akan banyak resiko, banyak yang dikorbankan, bisa jadi resistensi pada BIN sendiri sebagai lembaga. (rizky)
Komentar