IndonesiaBicara-Riau, 15 Juni 2009. Berada di tapal perbatasan negara-negara tetangga ASEAN serta dilintasi jalur pelayaran dunia, menempatkan Propinsi Kepulauan Riau sebagai kawasan ideal bagi kegiatan bisnis dan perdagangan. Namun di sisi lain membuatnya rawan dari aksi kejahatan internasional, termasuk penyelundupan dan perdagangan manusia.
Secara prinsip tindak penyelundupan dan perdagangan manusia antar negara merupakan ekses ketidakstabilan politik dan ekonomi global. Masih teringat dalam ingatan gelombang pengungsiVietnam dan Kamboja ke Pulau Galang akibat konflik Indochina 1970 – 1980. Serta eksodus warga China daratan karena himpitan ekonomi pada dekade 1980-an.
Di dalam negeri, banyaknya PHK akibat badai krisis ekonomi global mendorong warga usia kerja dari kalangan menengah kebawah di Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Lampung, Jawa Timur serta NTB berusaha mencari peruntungan ke Malaysia. Tanpa keterampilan kerja memadai, para TKI ini rata-rata mengisi sektor non formal macam perkebunan, konstruksi, pelayanan rumah tangga hingga hiburan malam. Sebagian besar memilih masuk menggunakan paspor kunjungan wisata berjangka waktu terbatas. Sedang sisanya memilih menyusup ke daratan Malaysia melalui pelabuhan rakyat alias pelabuhan tikus.
Menurut pengakuan seorang TKI ilegal asal Tanjung Balai Asahan, Sumatra Utara bernama Nurdin, mereka yang tidak memiliki paspor biasanya membekali diri dengan surat keterangan pelaut seharga 450.000 rupiah. Berawal dari bujuk manis tekong lokal bernama Hamid, dirinya dibawa ke Malaysia menggunakan perahu pompong bersama 11 calon TKI lain. Dalam perjalanan yang menempuh waktu semalam, seluruh penumpang dipaksa tiarap dalam perahu sempit ketika berpapasan dengan kapal lain.
Sempat bekerja sebagai pelayan kedai di Kelantan selama 3 bulan, pertengahan Maret 2009 Nurdin ditangkap milisi RELA. Karena tidak memiliki paspor, lelaki putus SMA berusia 27 tahun ini harus menjalani hukuman sebat (cambuk) rotan sebanyak 2 kali pada bagian panggul. Belum kering luka sebat, 4 hari berselang Nurdin bersama 135 TKI ilegal lain dideportasi ke Tanah Air melalui Tanjungpinang dengan ferry Batamline. Dapat dibayangkan betapa tersiksanya Nurdin karena tidak bisa duduk nyaman di kursi penumpang selama 3,5 jam pelayaran.
Berdasarkan pantauan di Pelabuhan Sri Bintan Pura, setiap pekan Batamline mengangkut TKI deportasi dalam 2-3 perjalanan. Dengan jumlah 130 – 150 orang termasuk wanita dan anak-anak. Bahkan pada trip tertentu jumlah TKI wanita mencapai ¾ dari total deportasi. Biasanya waktu pemulangan dilakukan pada hari Selasa, Rabu maupun Minggu sekitar pukul 19.30 – 20.00 WIB.
Begitu mendarat di dermaga internasional, para TKI segera diangkut ke penampungan di Batu Delapan seraya menanti pemulangan ke kampung halaman masing-masing. Kondisi penampungan Batu Delapan sendiri sangat memprihatinkan dengan fasilitas akomodasi dan sanitasi yang tidak sebanding dengan jumlah TKI. Bahkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Pemerintah Kota (Pemko) Tanjungpinang sekaligus Ketua Satgas TKI, Said Parman, mengaku kewalahan menangani masalah kesehatan TKI di penampungan. Selama ini Pemko bertanggungjawab atas urusan transportasi dan konsumsi. Untuk itu diharapkan pemerintah pusat segera mengambilalih masalah kesehatan TKI.
Selain didera buruknya sanitasi, TKI di penampungan ternyata rawan terjebak praktek human trafficking. Bahkan dalam area penampungan berkeliaran sejumlah calo tekong mencoba menebus TKI sebesar 150 – 300 ribu rupiah per kepala. Sebagai kedok mereka mengaku kerabat sang TKI yang hendak menjemput. Bahkan awal Mei silam terkuak praktek trafficking TKI didalangi seorang oknum polisi.
Tercatat pada tahun 2008 Malaysia telah mendeportasi 45.000 orang warga Indonesia. Dan pada 2009 angkanya meningkat menjadi 105.000 orang termasuk di dalamnya 80.000 bekas pengungsi Tsunami asal Aceh. Dimana hingga Mei 2008 jumlah yang dipulangkan sudah mencapai 15.544 orang. Kuala Lumpur berdalih langkah deportasi dilakukan untuk menekan aksi kriminalitas yang banyak dilakukan oleh Indon (julukan warga Malaysia buat TKI). Terlebih sektor industri Malaysia tengah mengalami kelesuan akibat krisis finansial global.
Untuk meminimalkan penyelundupan TKI ilegal ke Malaysia, perlu kiranya pemerintah mendorong pusat-pusat industri dan perniagaan di kawasan pesisir barat Sumatra. Termasuk mengoptimalkanFree Trade Zone Batam-Bintan-Karimun.
Illegal Entry
Selain polemik TKI ilegal, Kepri khususnya Tanjungpinang dan Bintan kini juga dipusingkan oleh masuknya pengungsi gelap dari Asia Selatan, seperti Afganistan, Irak dan Sri Lanka. Seperti diketahui ketiga negara tersebut tengah mengalami konflik bersenjata yang panjang. Di Afganistan dan Irak, operasi militer AS justru menciptakan instabilitas berlarut-larut. Sedang di Sri Lanka, tekanan militer Colombo atas posisi gerilyawan Gerakan Macan Tamil Eelam (LTTE) di utara Sri Lanka telah menimbulkan gelombang pengungsian etnis Tamil.
Diperkirakan kawasan Kepri –khususnya Bintan dan Tanjungpinang- menjadi salah satu lokasi pelarian para pengungsi asing tersebut. Ini terkait dengan kondisi geografis Pulau Bintan yang memiliki perimeter berupa pantai landai berombak tenang sepanjang 170 kilometer. Belum lagi kehadiran pelabuhan tikus yang tersebar di seantero pesisir pulau. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dari sinilah kerap terjadi penyelundupan barang maupun manusia.
Dugaan penetrasi pengungsi asing di Bintan terbukti pada tanggal 4 Mei 2009 ketika jajaran kepolisian dan imigrasi setempat menangkap 18 imigran gelap asal Afganistan ketika hendak berlayar ke Jakarta menggunakan KM Dobonsolo. Para imigran sempat mencoba menyuap petugas sebesar 1.000 dollar AS, namun tidak diindahkan petugas. Saat diperiksa, diketahui bahwa dua hari sebelumnya mereka telah mendarat di Tanjung Berakit dari Malaysia. Kasus ini seakan menggenapi kasus illegal entry pengungsi Afganistan yang juga terjadi di Batam dan Karimun.
Uniknya hampir semua pengungsi Afganistan sebanyak 118 orang yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang, mengaku berasal dari suku minoritas Hazara yang mendiami kawasan Afganistan Tengah. Etnis ini masih memiliki ikatan kuat dengan etnis Persia di Iran yang tercermin dari aliran Islam Syiah yang mereka anut. Selama konflik AS – Taliban, etnis Hazara kerap diteror milisi Taliban yang memaksa ikut berperang melawan AS. Oleh karena itu mereka mencoba hengkang dari Afganistan menuju negara ketiga seperti Australia. Bahkan beberapa orang mengaku telah melarikan diri sejak 2 tahun silam lewat jaringan penyelundupan manusia internasional.
Kuatnya dugaan keterlibatan mafia penyelundupan orang tersebut terlihat dari pengakuan seorang imigran Afganistan bernama Ghazni Jumakar. Dituturkan pelariannya diatur oleh beberapa agen berkebangsaan Afganistan, Iran dan Indonesia. Adapun ongkos pelarian berkisar antara 6.000 – 7.500 dollar AS. Semula rombongan Ghazni berencana singgah ke Jakarta sebelum menuju Australia. Ini diperkuat oleh bukti beberapa imigran memiliki Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) Jakarta yang diduga palsu.
Modus penyelundupan imigran asal Afganistan dimulai ketika para pengungsi melalui perbatasan Afganistan – Pakistan maupun Iran untuk selanjutnya menuju Malaysia via udara. Atau langsung dari Bandara Kabul dan Kandahar menuju Malaysia. Sebagian diantaranya bahkan diduga terbang dari Dubai dan Kuwait menuju Malaysia berdasarkan visa yang dikeluarkan Suruhan Jaya Tinggi (setingkat perwakilan diplomatik) Malaysia di kedua negara tersebut.
Alasan mafia penyelundup manusia memilih Malaysia dan Indonesia sebagai batu loncatan adalah adanya perwakilan UNHCR di kedua negara tersebut. Khususnya Malaysia mengingat negara jiran ini masih memberlakukan bebas visa bagi warga negara Asia Selatan. Di sana para imigran asing ditampung oleh jaringan mafia pada beberapa apartemen. Setelah sebulan berlalu barulah para imigran dibawa ke Johor Baru untuk kemudian menyeberang ke Indonesia. Salah satu jaringan penyelundup tersebut adalah para tekong TKI ilegal asal Indonesia.
Berbeda ketika datang di Malaysia, imigran gelap Afganistan masuk ke Indonesia secara diam-diam lewat pelabuhan tikus. Saat mendarat itulah oknum mafia sengaja menghilangkan dokumen perjalanan dan identitas imigran pengungsi. Seperti Ghazni yang mengaku kehilangan paspor karena diambil orang tak dikenal di Batam. Diindikasikan hal ini dilakukan untuk ‘menggagalkan’ upaya pelarian sekaligus menghilangkan jejak tindak kriminal para mafia tersebut.
Yang jelas jaringan mafia penyelundup manusia menjadi pihak yang paling diuntungkan dari upaya pelarian pengungsi tadi. Sementara para imigran hanya bisa gigit jari di penampungan detensi imigrasi. Beban psikologis juga dirasakan oleh pemerintahan negara penampung imigran. Sebab meski dana dukungan hidup imigran sepenuhnya dipasok oleh lembaga internasional IOM (International Organization of Migration) dan UNHCR, kehadiran imigran asing dalam jumlah signifikan dapat menciptakan masalah sosial baru. Belum lagi ancaman infiltrasi jaringan teroris asing diantara para pengungsi. Kondisi tersebut sebetulnya pernah dialami pemerintah Indonesia saat menerima para pengungsi asing asal Irak yang kemudian ditampung pada beberapa wisma di kawasan Puncak, Jawa Barat pada awal tahun 2000-an.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, sudah perlu dipikirkan membawa wacana penyelundupan pengungsi asing dalam pertemuan General Border Committee (GBC) antara Indonesia danMalaysia. Selain itu perlu diperkuat pengamanan perbatasan Indonesia – Malaysia. Seperti yang dilakukan TNI-AL yang kini memprioritaskan pengamanan perbatasan dengan Malaysia.
Namun begitu ada baiknya meningkatkan patrol pengamanan laut perbatasan. Berikut peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista pengamanan perbatasan. Untuk diketahui pengamanan perairan Kepri oleh Lantamal IV baru mengandalkan 3 kapal perang kelas FPB-37/KAL-35 berikut belasan speedboat patroli, pesawat intai maritim Nomad/CASA 212 plus helikopter Bolkow NBO-105. (Dito)
Komentar