IndonesiaBicara.com – Jakarta (12/9) Tidak adanya oposisi dan rencana koalisi partai-partai besar seperti Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat membuat ketidaknyamanan organisasi kepemudaan dan mahasiswa seperti HMI, IMM, dan beberapa ormas kepemudaan dan mahasiswa lainnya. Untuk memahami langkah-langkah yang akan dilakukan oleh ormas-ormas tersebut, wartawan indonesiabicara.com melakukan wawancara dengan Rusli Halim Fadli, Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadyah, di Kantor DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM), Jl. Menteng Raya No. 62, Jakarta Pusat, Jumat (11/9).
Bagaimana pendapat dan sikap IMM dengan koalisi partai besar pasca pileg dan pilpres:
Rusli: Kita harus merenungi kembali hakekat tatanan demokrasi, bahwa demokrasi yang kita anut dan kita pahami adalah dimana sebuah kekuatan dengan kekuatan lain memiliki check and balances sehingga tercipta sebuah tatanan yang ideal. Ketika sebuah sistem tak ada pengawasan dan perimbangan akan menjadi sesuatu yang seenaknya dan tidak mementingkan kepentingan masyarakat banyak dan tidak ada yang mengontrol itu. Dalam demokrasi, oposisi sangat mutlak diperlukan, walaupun PDIP selaku oposisi pada 2004-2009 masih banyak kebolongan disana-sini, tapi itu adalah tradisi sangat berharga, kita mungkin bisa belajar dari Singapura. Pemerintahannya kuat dan dia bisa mengontrol wilayah-wilayah privasi, tapi ada perbedaan dengan Indonesia, Singapura dalam hal ini kekuatan masyarakatnya sudah mampu melakukan pengkritisan secara individual pada pemerintah, sedangkan indonesia pengkritisan secara individual belum bisa, dalam hal ini maka diperlukan kelompok-kelompok yang mewadai aspirasi masyarakat dan ini yang melakukan penyeimbang dan melakukan kontrol pada pemerintah.
Jika memang tidak ada oposisi karena koalisi besar, secara otomatis hal tersebut meniadakan oposisi, menurut IMM sendiri fungsi check and balances seperti apa yang nanti akan dilakukan:
Rusli: Peran oposisi sendiri tidak melulu hanya dilakukan oleh partai politik, tapi ketika parpol ini tidak melakukan kerja oposisi yang diharapkan masyarakat banyak, pasti diperlukan sebuah kelompok-kelompok baru untuk melakukan peran oposisi seperti organisasi kepemudaan, sosial dan agama dan sebagainya. Meskipun tidak bisa berfungsi seperti di parpol karena mereka kan punya wakil-wakilnya di DPR, saya pikir kelompok-kelompok baru ini harus dibentuk, fungsi media juga mampu melakukan check and balances pada pemerintahan.
Jika mekanisme check and balances tersebut tidak terakselerasikan dengan baik, apakah memungkinkan terjadi parlemen jalanan:
Rusli: Parlemen jalanan adalah konteks tertentu ketika parlemen yang ada tidak mampu melakukan aksinya, dibeberapa daerah dan sejarah dunia, banyak sekali parlemen jalanan yang tumbuh dan muncul menjadi politik jalanan ketika aspirasi masyarakat umum tidak terakomodir atau diserap wakil rakyat, kondisi itu memungkinkan memunculkan arus jalanan. Ini semua tergantung dari kebijakan pak SBY sebagai presiden terpilih dan memiliki peran sangat kuat sekali juga di DPR, saya melihat ketika tidak ada kelompok yang melakukan kritikisasi maka pemain-pemain seperti organisasi kepemudaan itu harus melakukan hal-hal seperti protes bahkan membentuk parlemen jalanan dan variannya sesuai dengan konteks yang berkembang sekarang. Mudah-mudahan pak SBY menepati semua jannjinya, ketika ditepati maka parlemen jalanan itupun juga harus dibentuk tetapi gongnya harus lebih berirama. Jangan ketika kebijakan itu sudah lurus malah dibengkokkan oleh parlemen jalanan itu sendiri. Jika pemerintahan tidak berjalan dengan baik maka secara natural parlemen jalanan akan terbentuk, karena jika tidak terbentuk ya mau dibawa kemana bangsa ini, ketika semua tertuju pada akar tunggal yang salah.
Menurut anda apakah koalisi partai besar akan efektif menjalankan roda pemerintahan:
Rusli: Efektif atau tidaknya bergantung pada skill kepemimpinan SBY, jika kekuatan itu di share ke partai-partai koalisi maka ketika akan melakukan kebijakan, akan merasa tidak enak ke partai A atau partai B. Ya tidak akan jalan, pada tahun 2004-2009 kita banyak sekali melihat kebijakan yang sangat hati-hati mengeluarkannya, sehingga malah tidak efektif dalam menyentuh aspek tujuan, tapi lebih pada penyeimbangan supaya tidak timbul kekacauan politik. (rizky)
Komentar