IndonesiaBicara-Amlapura (03/03/11). Maraknya keberadaan vila di Karangasem tak pelak membuat gundah pelaku wisata. Betapa tidak, kecemburuan mereka akan perlakuan pemerintah terhadap keberadaan bangunan yang identik dengan paviliun itu, hingga kini tak kunjung terjaring wajib bayar pajak.
Dengan dalih rumah tinggal, keberadan vila membuat iri banyak pihak karena didalamnya terselubung praktek wisata time share yang menggiurkan dan menguntungkan si empunya vila. Disamping itu, seenaknya mereka sang empu yang umumnya bule menunggangi pribumi, pinjam nama seolah tak terlibat tetapi sesungguhnya mereka seperti lintah pengghisap darah, mengambil untung besar dibalik kerugian banyak pihak, terutama pemasukan pajak untuk rakyat yang bisa diraih.
Wacana kritik soal vila terus terungkap, namun hingga saat ini posisinya masih belum bergeming untuk segera dijaring agar setaraf dengan kewajiban bungalow dan akomodasi wisata lainnya, memenuhi kewajibannya membayar pajak. Menurut Ketua PHRI I Nyoman Kariasa (01/03) menyikapi respon terhadap keluhan PHRI saat rakor sebelumnya dengan berbagai stakeholder, mengatakan, vila telah menjadi salah satu agenda usulan penting untuk mendapatkan respon Pemerintah Kabupaten Karangasem untuk segera ditertibkan, karena keberadaannya kini sudah marak dan banyak yang liar alias tak berijin.
Jika dibiarkan akan berdampak negatif bagi dunia bisnis pariwisata karena vila tidak pernah bayar pajak padahal mereka melakukan praktek penyewaan vila kepada wisatawan. Modus marketing mereka adalah dengan membawa wisatawan langsung di negara asal pemilik, seolah sebagai kerabat yang datang berkunjung padahal mereka bayar saat transaksi di negara asalnya.
Sementara itu, Kadis Budpar I Wayan Purna, mengatakan, keberadaan vila sebagai bentuk akomodasi wisata sejauh ini dipersamakan dengan katagori pondok wisata dan bungalow, sehingga dalam penanganannya tidak diperlakukan tersendiri. Menyangkut masalah perijinan sudah ditangani langsung oleh KP2T, Disbudpar hanya membidangi masalah pembinaan dan penataan kawasan dan ODTW. Perlakuan tersebut sejalan dengan hasil pertemuan antar Kabupaten/Kota se-Bali dan Karangasem belum ada perlakuan khusus soal vila.
Dispenda selaku pengumpul PAD juga masih memperlakukan dalam satu paket pajak yakni pajak hotel dan restoran. Secara umum data jumlah vila di Karangasem sejauh ini belum dimiliki, sementara masih menyatu dengan data akomodasi wisata yang telah diterbitkan dan diedarkan kepada masyarakat. Kabupaten Karangasem sejauh ini masih tetap memiliki 3 kawasan dan 15 Obyek dan Daya tarik Wisata (ODTW).
Kadispenda I Gede Adnya Mulyadi, saat melakukan aksi menjemput bola di lapangan mengaku, pengenaan pajak terhadap vila yang ada masih menjadi satu dengan pajak hotel biasa. Namun nantinya bakal dipisahkan sesuai fasilitas yang dimiliki. Selama ini kendala yang dihadapi karena pemohon izin atas nama orang lokal sementara pemiliknya orang asing sedangkan penghuninya yang tergolong suami, istri dan anak sesungguhnya bebas pajak.
Namun karena tidak diketahui data yang pasti tentang penghuni karena bisa silih berganti menempati, maka di masa mendatang akan dilakukan revisi Perda agar dapat menjaring pengenaan pajak terhadap vila dimaksud.
Masalah yang sempat muncul atas berdirinya vila di Karangasem adalah pendirian vila di tepi lereng barat Bukit Gumang Desa Bugbug, yang disinyalir bersinggungan dengan aturan perundangan khususnya Perda RDTR Nomor 8 Tahun 2003 yang mengatur peruntukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Bukit Gumang, Perda RTRW Nomor 11 Tahun 2000 maupun aturan penetapan Kawasan Hutang Lindung yang dikeluarkan Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan.
Terakhir terlansir informasi, di dalam peruntukan Ruang Terbuka Hijau yang juga meliputi kepemilihan lahan milik perorangan atau pihak lain, masih dapat ditolerir adanya aktifitas oleh pemiliknya sepanjang tidak merusak fungsi RTH. Bahkan lokasi vila adalah juga ada dalam ranah kepemilikan lahan dari Desa Adat Bugbug yang tersebut sebagai tanah Duwe Pura (DP) dimana melekat kewenangan Desa Adat dalam memberdayakannya.
Desa Adat Bugbug memang mengatur pemberian peluang warganya untuk memohon lahan guna dijadikan tempat tinggal warganya yang tidak memiliki lahan pribadi/tempat tinggal. Pemohon IMB untuk rumah tinggal di lokasi tepian barat lereng Bukit Gumang atas nama warga setempat, dengan lampiran kriteria persyaratan yang diajukan sudah normatif dan lengkap.
Penegakan aturan hukum Perda itu, menuntut dukungan dan kesadaran semua elemen masyarakat termasuk komonitas masyarakat adat yang memiliki kapasitas dan kewenangan otonom secara tradisional dalam proporsi fungsi dan kemaslahatan menghormati eksistensi adat. Kecermatan untuk mengapresiasi perkembangan dewasa ini, tidak semata ada di pundak pemerintah semata, namun tanggung jawab masyarakat tidak kalah penting, sehingga dapat dicegah terjadinya penyalahgunan tata ruang wilayah secara permanen.
Sejumlah praktisi wisata bahkan menohok kawasan pariwisata Candididasa sudah layak distop perijinan akomodasi wisatanya termasuk vila, mengingat kondisi daya dukungnya terbatas dan relatif sudah booming. Menurut I Komang Gunita, Manejer Restoran Lotus, sebaiknya masalah perijinan investasi wisata di kawasan Candidasa segera dilakukan evaluasi. Jika tidak dikendalikan sejak dini dikawatirkan pertumbuhannya tidak terkendali dan menimbulkan berbagai ekses negatif yang tak sehat bagi perkembangan pariwisata setempat.
Sebagaimana diketahui saat ini saja Candidasa sudah dihadang Perda 16 tahun 2009 menyangkut RTRW-P Bali yang masih terus diwacanakan terutama menyangkut sempadan pantai, sehingga ke depan untuk meringankan belitan masalah di Candidasa pemberian ijin harus mulai diperketat. Permasalahan seperti perang tarif, kasus persaingan pemandu wisata, angkutan transport dan kawasannya sendiri sudah beban yang penat, dimana daya dukung kawasannya baik menyangkut ketersedian sumber daya air maupun ruang terbuka untuk view makin terjepit oleh hiruk-pikuk aktifitas.
Menghindari Candidasa makin padat dan tak nyaman lagi, di masa mendatang penataan mutlak diperlukan dan dapat dimulai dari evaluasi bidang perijinan.
Wakil Bupati I Made Sukerana, dalam kesempatan bertatapmuka dengan masyarakat Kubu mengatakan, sebaiknya Karangasem segera melakukan pilihan untuk akomodasi wisata yang katagori bintang tidak memilih kelas dibawah itu maupun vila. Keberadaan vila bahkan cenderung menuai masalah seperti yang terjadi di Tulamben, maka selanjutnya sebaiknya diarahkan untuk memilih akomodasi lebih tinggi nilai pajak dan manfaatnya bagi masyarakat.
Dirinya berharap agar komponen pariwisata yang ada didalam wadah PHRI tetap bersatu dan bersinergi untuk bersama-sama Pemerintah Kabupaten memajukan kepariwisataan Karangasem. Sektor pariwisata telah terbukti memberi kontribusi besar terhadap pembangunan daerah dalam bentuk PAD, sehingga diperlukan upaya untuk senantiasa menjaga kualitas pelayanan terhadap wisatawan.
Untuk itu berbagai kendala yang muncul dapat ditanggulangi secara bersama-sama dengan melibatkan masyarakat sekitar, yang tidak lepas keterkaitannya dengan pariwisata disetiap ODTW, pengusaha dan pemerintah.
Sejumlah pengusaha wisata meminta Pemkab Karangasem lebih memprioritaskan pembangunan pariwisata dari sisi porsi anggaran sehingga dapat dimanfaatkan untuk membenahi berbagai fasilitas. Dengan pelayanan dan ODTW yang lebih berkualitas maka akan meningkatkan citra pariwisata Karangasem yang otomatis akan meningkatkan arus kunjungan wisata.
Dengan meningkatnya kunjungan wisata, sekaligus akan meningkatkan pula perolehan PAD Karangasem melalui PHR maupun pajak lainnya yang sudah ditetapkan melalui Perda. (Din/*)
Komentar