IndonesiaBicara - Jurnalisme Independen Rakyat Indonesia

Penyelundupan Senjata dan Industri Strategis Nasional

Indonesiabicara –Manila- Kontroversi pengiriman 100 pucuk senjata serbu SS-1 V2 (SS-1 carbine) dan 10 pucuk pistol P2 buatan Pindad, seakan mencerminkam kondisi industri strategis nasional saat ini. Sudah menjadi rahasia umum pasca krismon industri strategis tanah air berada di ujung tanduk eksistensinya. Sebut saja PT. Dirgantara Indonesia (DI) yang nyaris bangkrut pada awal tahun 2000-an silam.

Ditakdirkan sebagai pabrik barang canggih seperti pesawat, kapal dan senjata, keberadaan industri strategis sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi dan politik sebuah negara. Saat masa Orde Baru, pemerintah memutuskan menggabungkan manajemen perusahaan industri strategis tanah air yang berjumlah 10 perusahaan dalam satu institusi bernama BPIS (Badan Pengembangan Industri Strategis). Di bawah pimpinan Menristek BJ Habibie, BPIS bertugas mengarahkan seluruh BUMN tadi menuju pencapaian alih teknologi – termasuk bidang pertahanan. Apalagi pada dekade 1970 – 1980 Indonesia sangat membutuhkan pesawat, kapal laut dan persenjataan untuk memperkuat alustsista TNI yang “ompong’ akibat kelangkaan suku cadang senjata buatan Rusia.

Pencapaian alih teknologi pertahanan oleh BPIS pun mulai nampak pada pertengahan 1980-an. Saat itu IPTN (nama baru Nurtanio) berhasil mengembangkan pesawat transport multifungsi CN-235. Sedang PT. PAL berhasil membangun kapal patroli cepat jiplakan Jerman yang dinamai tipe FPB 37 dan FPB 57. Proyek “fotokopi” juga dilakukan Pindad yang lewat lisensi Fabrique Nationale Herstal Belgia, memproduksi senapan serbu SS-1 yang notebene tiruan senapan serbu FNC.

Ironinya alih-alih membangun industri strategis yang mandiri dan kompetitif, BPIS -yang sedari awal mengedepankan manajemen birokratis ketimbang manajemen korporasi- justru membuat perusahaan industri strategis menjadi penyedot APBN terbesar. Ini terlihat saat IPTN mengajukan proposal pembuatan pesawat komersial canggih N-2130 ke Presiden Soeharto yang ditanggapi dengan instruksi penggalangan dana masyarakat, termasuk penggunaan dana reboisasi. Pada akhirnya N-2130 tidak pernah mengudara dan malah menciptakan lubang hutang negara sebesar 2 miliar dollar.

Kini BPIS telah dibubarkan, meninggalkan jajaran direksi industri strategis yang berjuang sendirian demi kelangsungan hidup perusahaan. Belajar dari pengalaman, manajemen industri strategis berupaya tampil profesional layaknya rekanan mereka di mancanegara. Salah satunya Pindad yang tak sekadar memasok kebutuhan senjata TNI/Polri, tapi juga berupaya menembus pasar ekspor khususnya negara dunia ketiga.

Dalam rangka perluasan pasar, Pindad pun tak sungkan mempromosikan produk andalannya secara internasional. Termasuk mengembangkan produk yang marketable alias paling diterima oleh pasar. Ini berlaku pada produk senapan serbu dan pistol. Di tengah maraknya konlik bersenjata yang kerap berlangsung di kawasan perkotaan, Pindad mencoba mengembangkan konsep senapan serbu SS-1 dengan laras pendek (carbine) bertipe SS-1 V2. Senapan SS-1 V2 pun sudah terbukti tangguh dalam perang (combatproven) dalam Operasi Militer TNI di Aceh. Dan untuk mengkompensasi kelemahan SS-1 yang larasnya cepat panas saat dioperasikan autofull (otomatis), Pindad pun menciptakan generasi terbaru SS-2 yang menggabungkan mekanisme senapan serbu AK-47 buatan Rusia dan M-16 buatan AS.

Sejalan dengan waktu, produk Pindad pun mendapat sambutan pasar internasional. Adalah Nigeria dan Mali di Afrika yang mengimpor ratusan SS-1 V2 buatan Pindad untuk keperluan militer masing-masing. Adalah sebuah kemungkinan besar kedua negara tersebut mencari varian senapan serbu FNC Belgia dengan harga miring. Dan itu bisa dipenuhi SS-1 V2 yang hanya dibanderol 500 dollar AS. Bandingkan harga senjata serbu lain seperti Steyr (Austria), M-4 carbine (AS) yang bisa mencapai lebih dari 1.000 dollar AS.

Sayangnya peluang ekspor tersebut justru terganjal ketiadaan pihak penjual perantara (broker) yang kredibel. Dalam kasus penjualan SS-1 V2 ke Mali, pihak Pindad –dan otoritas Dephan- mempercayakan kepada rekanan broker senjata asal Filipina, RWB. Yang kemudian menjadi janggal adalah penggantian item barang yang diekspor dari SS-1 V2 menjadi Galil. Inilah yang menimbulkan kerugiaan aparat bea cukai Filipina. Apalagi kemudian diketahui 50 pucuk dari 100 pucuk SS-1 V2 yang dikapalkan sudah raib dari kontainer penyimpanan.

Sekilas memang sulit membedakan tampilan antara SS-1 V2 dengan Galil, karena keduanya sama-sama mengadopsi konsep popor lipat. Perbedaan karakteristik keduanya mulai terlihat pada bagian gagang dan laras senjata. Dimana SS-1 meniru konsep gagang M-16 dengan laras menyerupai FN-FAL yang tak lain ‘kakak’ senapan FNC. Sementara gagang dan laras Galil mencontek habis desain senapan AK-47 Rusia. Dan yang terpenting, Galil diproduki dalam 2 versi yakni Galil ARM kaliber 7,62 mm dan Galil SAR 5,56 mm.

Untuk menghindari kejadian serupa, alangkah baiknya pemerintah melalui Meneg BUMN dan Dephan memperkuat institusi pemasar produk strategis nasional. Hal tersebut bisa mencontoh lembaga SOFRESA dari Perancis atau Robosoron dari Rusia yang berfungsi menjadi ‘broker’ resmi antara pemerintah konsumen dan industri senjata. Selain meningkatkan transparansi perdagangan industri pertahanan juga mengefektifkan pengawasan jalur pengiriman senjata ke end user. (ahm)

Tinggalkan Balasan

 

 

 

Anda dapat menggunakan penanda HTML berikut

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

What is 11 + 15 ?
Please leave these two fields as-is:
PENTING! Untuk melanjutkan Anda harus menjawab pertanyan di atas.