IndonesiaBicara.com-SERPONG (25/8/13). Sebagai paham baru yang relatif mutakhir, multikulturalisme belum diterima secara utuh oleh Indonesia. Padahal keragaman harus dipandang sebagai potensi untuk membangun kekuatan bangsa bukan hal yang akan mengancam eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa kasus kekerasan akibat perbedaan keyakinan seperti kasus yang menimpa kelompok penganut Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia menunjukkan bahwa multikulturalisme di Indonesia masih dalam tahap akulturasi dan akomodasi.
Hal tersebut diungkapkan Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society saat menjadi narasumber di Sekolah Demokrasi Tangsel, Sabtu (24/8).
Menurut Zuhairi, hal yang harus dikedepankan dalam paham multikulturalisme adalah kesediaan menerima perbedaan, yaitu kebhinekaan dalam persatuan (diversity within unity), sehingga multikulturalisme berbeda dengan liberalism.
“Dalam liberalisme bersatu kita teguh, sementara dalam multikulturalisme, berbeda kita kuat,” tambahnya.
Zuhairi pun memaparkan realitas Indonesia sebagai negara yang majemuk, baik dari segi etnis, budaya maupun agama. Selain itu, jika dilihat dari realitas sosial kehidupan masyarakat, Indonesia pun memiliki potensi toleransi yang sangat tinggi,. Namun pasca-reformasi ancaman radikalisme dan intoleransi yang makin eskalatif.
“Ke depan, Indonesia masih harus banyak belajar menjadikan keragaman budaya sebagai kekuatan bukan kelemahan, sementara inti multikulturalisme adalah understanding (memahami), dengan demikian masa depan Indonesia adalah multikulturalisme,” pungkasnya. (Rml/Rin)
Komentar