IndonesiaBicara.com-Lombok Utara,(01/02/10). Sengketa tanah Gili Trawangan seluas sekitar 200 hektar, bekas lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan Pemda Provinsi NTB kepada PT Rinjani Tambora (Rinta) dan PT Generasi Jaya (GJ), untuk perkebunan kelapa, tahun 1971 silam terus berlanjut. Seiring perjalanan waktu, kedua perusahaan tersebut gagal mengelola HGU dan selama hampir 30 tahun lebih ditelantarkan.
Setelah ditelantarkan selama puluhan tahun, kini masyarakat mengelola sekaligus mendiami lahan yang belakangan menjadi daerah pariwisata andalan Provinsi NTB itu. Akan tetapi, tiba-tiba muncul desakan dari PT Gili Trawangan Indah (GTI) yang mengklaim telah membeli saham HGU kedua perusahaan tersebut, kepada masyarakat untuk meninggalkan lahan yang telah berubah menjadi pemukiman dan komplek resort wisata itu.
Kisruhnya kasus sengketa tanah tersebut, membuat Kepala Dusun Gili Trawangan, Zaenudin dan beberapa perwakilan masyarakat Gili Trawangan melakukan hearing sekaligus mengadu kepada DPRD Kabupaten Lombok Utara (KLU), dengan harapan dapat difasilitasi untuk menyelesaikan kasus tersebut, Senin (01/02).
Dalam pertemuan dengan pimpinan DPRD KLU, Zaenudin mengatakan bahwa sengketa tanah di Gili Trawangan telah berlangsung selama hampir 20 tahun. Meski selama itu telah diupayakan penyelesaian secara damai, bahkan pada tingkat pengadilan namun hingga saat ini belum ada kata sepakat. “Dengan kekuasaan uang pihak GTI mampu mempengaruhi sejumlah pejabat terkait untuk mendapat dukungan,” jelas Zaenudin.
Karenanya masyarakat sangat berharap dukungan dan advokasi dari DPRD KLU untuk dapat menyelesaikan sengketa yang tak berujung itu. Zaenudin menambahkan, tekanan dari pihak GTI juga sangat mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat dan program wisata di daerah itu. Menurutnya, persoalan kasus Gili Trawangan berawal dari kebijakan pemerintah daerah, oleh karena itu masalah yang timbul tentu menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk menyelesaikan.
Menanggapi hal itu Pimpinan DPRD KLU, Mariadi, S Ag, mengatakan, bahwa kasus tersebut hampir sama dengan kasus terjadi di Sekotong dan Jeranjang Lombok Barat. Banyak orang yang berspekulasi terhadap tanah yang berpotensi akan berkembang, namun dalam perkembangannya pemilik tanah menelantarkan lahan yang ada, ungkap Mariadi.
Menindaklanjuti permasalahan ini DPRD meminta kepada masyarakat membuat surat pengaduan sebagai data awal dan legitimasi bagi Dewan untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat, data ini diperlukan sebagai bahan pendampingan dan jika diperlukan sebagai bahan pertimbangan ke Pusat. (pul)
Komentar