IndonesiaBicara-Lombok Utara, (02/02/10). Kenaikan harga beras yang terjadi di Kabupaten Lombok Utara beberapa waktu yang lalu cukup membuat beberapa masyarakat khususnya yang berada dikalangan menengah kebawah kerepotan. Kenaikan harga berkisar antara Rp 1.500-2.000 per kilogram sehingga harga beras yang dahulunya berkisar antara Rp 5.500 menjadi Rp 6.500 hingga Rp 7.000 per kilogram bahkan lebih tinggi.
Momen tersebut membuat kita perlu melihat kembali pentingnya diversifikasi pangan. Kita pernah mendengar jika dahulu masyarakat Madura memiliki makanan khas jagung, Maluku kita kenal dengan sagu, dan masyarakat Papua dengan ubi. Namun seiring perkembangan zaman makanan tersebut seolah tergeser dan berganti dengan beras. Kondisi tersebut membuat pemerintah berupaya dengan keras memenuhi kebutuhan beras diberbagai wilayah.
Kepala Dinas Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan (DKPPK) Lombok Utara, Ir Lalu Mustain, MM kepada wartawan mengemukakan, perlu adanya diversifikasi pangan selain beras sebagai upaya ketahanan pangan nasional. “Kita perlu memikirkan kembali potensi diversifikasi pangan selain beras sebagai upaya ketahanan pangan nasional seperti yang dicanangkan SBY beberapa waktu yang lalu”. Di era 80-an hingga 90-an masyarakat di Bentek, Tanjung hingga Trengan pada pukul 10 hingga 11 masih terdengar suara ibu rumah tangga memotong ketela untuk dicampur dengan beras. Namun kondisi itu tidak ditemukan saat ini karena image di masyarakat mengkonsumsi ketela menjadi indikasi terjadinya kekurangan pangan. “Kita perlu mengubah image dimasyarakat jika mengkonsumsi selain beras adalah kekurangan pangan, dan hal tersebut merupakan keragaman pangan masyarakat,” imbuhnya.
Pihaknya juga mengemukakan bahwa di Lombok Utara, kelompok tani di Dusun Loko Pede, Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung beberapa waktu yang lalu pernah memperoleh penghargaan pemanfaatan potensi pangan lokal non beras berupa ketela yang dicampur nasi dari Presiden SBY . (pul)
Komentar