IndonesiaBicara.com – Jakarta (4/9). Syamsul Ma’arief Institute menyelenggarakan diskusi dengan tema “Ormas Islam Sebagai Pilar Civil Society: Studi Peran Muhammadyah dan NU Dalam Demokratisasi Politik”. Diskusi menghadirkan DR. M. Syafii anwar (Direktur Eksekutif ICIP), Pramono U. Thantowi (Direktur Eksekutif PSAP), Piet H. Khaidir (Direktur Program CDCC) dan Fajar Riza Ulhaq (Program Manager Maarif Institute/Moderator).
Seminar diselenggarakan di kantor PP Muhamadiyah Jl. Menteng Raya Jakarta, sebagai bagian dari acara Tadarus Kebangsaan Ramadan 1430 H. Kamis (3/9).
Dalam kesempatan tersebut Piet H. Khaidir mengatakan ”Islamic Activism ada 2 hal, Islamic Movement, bisa dengan kekerasan atau radikal dan yang ke dua adalah Gerakan pendidikan atau charity. Dengan teori ini saya membuktikan bahwa Muhammadyah memiliki komitmen pada demokrasi”.
Cita-cita awal Muhammadiyah adalah membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan kategori yang seperti jaman di Madinah dulu, yang saat itu terdapat berbagai etnis. Akan tetapi pada jaman orde baru, Muhammadyah secara retoris menerima Pancasila. Pada awalnya, NU dan Muhammadyah sedikit berbeda, pada saat Dekrit Muhammadiyah menjadi oposisi dan NU mendukung pemerintah, fakta ini membuktikan bahwa gerakan Islam itu naik turun dalam berhubungan dengan negara.
Intinya adalah Muhammadiyah mendukung demokratisasi dengan menjadi gerakan yang tanpa kekerasan, Muhammadiyah juga mengalami hubungan yang naik turun dengan negara, lanjut Piet H. Khaidir.
Pramono U. Thantowi sebagai nara sumber lain mengatakan Indonesia mengalami perkembangan demokratisasi dalam 10 tahun belakangan, disini peran politik umat Islam meningkat, sayangnya kajian Islam tentang komunal dan terorisme malah dipandang negatif dalam demokratisasi, perlu ada kajian yang memberikan pandangan positif dan peran Muhammadiyah pada masyarakat .
Saat pembentukan kabinet, orang-orang NU dan Muhammadiyah selalu ikut, bagaimana bisa disebut civil society jika masuk juga dalam penyelenggara negara. Belum lagi yang maju sebagai caleg. Ada juga intervensi politik dalam muktamar. Sebagai civil society, juga tergantung pada dana asing, dan ini menjadi kecurigaan sebagai alat asing untuk merusak Islam dari dalam, tapi ini juga positif jika kita dapat meraih keuntungan dan peluang daripada tujuan dana asing sendiri.
M. Syafii Anwar sebagai narasumber terakhir mengatakan, kita tidak bisa memberikan justifikasi pada tokoh-tokoh Muhammadiyah yang mendukung politik, misalnya menjustifikasi tokoh-tokoh yang mendukung berdirinya ICMI. Peran negara banyak menentukan, negara menentukan perilaku politik organisasi-organisasi dalam politik.
Seperti kata Cak Nur (Nur Cholis Madjid) bahwa Islam itu jangan hanya diluar pagar, sekali-sekali masuklah dalam pagar, bukan kita terus dikatakan sebagai pendukung Soeharto, mereka terpanggil secara moril, maka itu mereka menjadi oposisi.
Saya setuju NU atau Muhammadiyah adalah pilar civil society Islam. Saya terlibat dalam terbentuknya PAN, tapi saya tidak masuk di dalamnya. Ada yang perlu dicatat dalam perkembangan demokrasi, kita punya KPU, MK, KPK, kita pakai Pemilu, kebebasan pers, luar biasa jika pers tidak bebas, kita juga ada otonomi daerah, sekarang juga ada mainstreaming gender yang makin kuat.
Sekarang juga ada 2 tren, pertama merosotnya partai-partai Islam, bisa ideologinya tidak menarik, tokohnya tidak menarik atau penyebabnya, harus menjadi kajian kiita nantinya, kedua adalah merosotnya isu aliran, mana NU dan Muhammadiyah dalam Pemilu, kenapa tidak ada, mungkin takut isu jilbab dan jenggot, pungkas Syamsul Ma’arif. (rizky)
Komentar