IndonesiaBicara.com-SERPONG (22/9/13). Setelah Reformasi berlangsung lebih dari 15 tahun, berbagai perubahan sosial terjadi dibeberapa hal, yaitu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Demokratisasi yang berlangsung telah mendorong liberalisasi politik dan kebebasan media massa. Hal ini dijelaskan Dosen FISIPOL Univ. Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito saat menjadi narasumber dalam diskusi rutin, yang digelar di Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan, Sabtu (21/9).
“Kekuatan masyarakat sipil saat ini makin tumbuh pesat dalam partisipasi dan asosiasi kewargaan untuk mempengaruhi proses kebijakan di nasional maupun lokal”, katanya.
Menurut Arie Sujito Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi saat ini telah mengakselerasi demokrasi dan politik lokal, sehingga memberikan dorongan menuju governance reform dan bangkitnya partisipasi masyarakat sipil.
“Saat ini menguatnya konflik dan kekerasan yang melibatkan negara dan masyarakat, sengketa antar kelompok etnis, sentimen agama dan permusuhan, perselisihan antar parpol, bentrokan antar kampung maupun desa, dan lainnya merupakan bukti kerawanan dan kerentanan masyarakat dalam situasi konflik”, paparnya.
Untuk itu menurut Arie, perlu dilakukan mengorganisir masyarakat kedalam asosiasi-asosiasi yang kuat dan solid sebagai pilar masyarakat sipil. Betapapun partisipasi sipil sudah terwujud, namun daya bargaining dan negosiasinya masih sangat terbatas. Oleh karena itu, pengorganisasi menjadi pilihan agar terjadi kolektivisasi partisipasi sipil.
Selain itu Kesenjangan sosial dan ekonomi merupakan penyebab konflik dan kekerasan di tengah-tengah masyarakat, karena masalah jarak struktural antar kelompok. Perbedaan akses (kesempatan), struktur ekonomi, pendidikan, lapangan kerja, kekuasaan, sehingga mempengaruhi kesejahteraan menjadi lahan bagi meledaknya sengketa dan kekerasan warga. Persoalan struktural ini, biasanya bergerak secara cepat jika dibalut oleh isu-isu SARA (suku agama, ras dan antar golongan).
“Saat ini dibutuhkan kesadaran masyarakat agar tidak dimanipulasi, yang menyebabkan perbedaan dan konflik mudah terperangkap dan mengalami pergeseran isu. Akar masalah konflik sebenarnya menyangkut keadilan sosial ekonomi, tetapi hal itu mudah dimanipulasi menjadi perang agama atau suku. Belajar dari kasus-kasus konflik dan kekerasan di Kalimantan, Ambon, Aceh, Papua”, pungkasnya.
Komentar