IndonesiaBicara–Jakarta, (10/12/09). Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menilai korupsi di bidang peradilan atau judiciary corruption dari tahun ke tahun kian meningkat dan canggih. Modus yang dilakukan pun semakin rapi dan tersembunyi.
Hal itu diungkapkan Busyro di Jakarta, Rabu (9/12). Yang dimaksud korupsi peradilan adalah tindak pidana korupsi yang berjalan bersamaan dengan proses peradilan yang bisa melibatkan polisi, jaksa, hakim, makelar kasus, cukong, dan sebagainya.
Menurut Busyro, Komisi Yudisial (KY) menerima banyak laporan pengaduan masyarakat terkait putusan hakim. Jumlah pengaduan itu setiap tahunnya semakin banyak.
Dari pendalaman KY atas laporan itu, Busyro mengatakan, KY menemukan begitu banyak persoalan yang dicoba ditutupi dengan sangat rapi. Misalnya, penggelapan barang bukti, manipulasi barang bukti dan berita acara persidangan, atau hakim yang secara sengaja tidak mengelaborasi keterangan saksi sehingga tidak ditemukan kebenaran materiil.
Selain itu, tambah Busyro, KY juga menemukan adanya putusan yang konstruksi hukumnya dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan salah satu pihak. Hakim kadang juga memanipulasi yurisprudensi dan ketentuan perundang-undangan untuk kepentingan tertentu. ”Modus-modus operandi ini makin terbuka. Ini sesuatu yang serius,” kata dia.
Putusan Bermasalah
Dalam perbincangan dengan Kompas beberapa waktu lalu, Busyro menengarai setidaknya ada sekitar 60 persen putusan hakim yang bermasalah. Terkadang, pertimbangan hukum dalam sebuah putusan berbeda dengan fakta yang terungkap dalam persidangan. Hal itu terjadi karena berita acara persidangan yang digunakan hakim memutus perkara dimanipulasi. Hal itu diduga juga melibatkan panitera pengganti.
”Persoalannya, hal ini sulit disentuh KY. Mahkamah Agung (MA) dan hakim selalu beralasan, itu terkait dengan teknis yudisial. Selain itu, kami juga tidak pernah dapat menyentuh panitera pengganti. Wilayah kami pengawasan hakim saja,” papar Busyro.
Padahal, tambahnya, kesalahan atau manipulasi berita acara persidangan (BAP) adalah hal yang fatal mengingat BAP akan digunakan terus oleh hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK). Tidak adanya mekanisme pembacaan atau pemeriksaan BAP oleh para pihak membuat manipulasi itu mungkin dilakukan.
Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho sepakat dengan sinyalemen peningkatan korupsi di bidang peradilan. Hal itu, antara lain, disebabkan lemahnya kepemimpinan di internal lembaga dan tidak efektifnya lembaga pengawas eksternal.
”Ada kesan pembiaran oleh pimpinan terhadap praktik seperti itu. Sementara pengawas eksternal juga tidak terlalu berfungsi optimal,” ujar Emerson.
Emerson mengaku mengapresiasi diajukannya dua hakim tingkat pertama ke Majelis Kehormatan Hakim, Selasa lalu. Namun, hal itu tidak lantas membuat hakim jera bermain-main perkara.
”Kalau sanksinya cuma administratif, bahkan sanksi pemecatan, hal itu tidak akan membuat jera, kecuali kasus itu diteruskan ke proses hukum,” kata Emerson lagi.
Hal yang sama juga berlaku untuk Kejaksaan Agung. Jaksa penuntut umum sering memainkan pasal dan besar tuntutan yang diajukan. Hal itu juga sudah menjadi rahasia umum.
Terkait anggapan tidak efektifnya lembaga pengawas eksternal, Busyro mengatakan, terdapat kendala berupa minimnya kewenangan yang diberikan undang-undang. Untuk KY, persoalan kian pelik ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal pengawasan. ”Kalau mau memberantas secara sistemik, seharusnya juga dilakukan secara sistemik. Mulai dari UU-nya,” ujar dia. (Irn)
Komentar