IndonesiaBicara.com – Jakarta (12/9) Kasus Tanjung Priok merupakan tonggak pertama dari kasus HAM di Indonesia. Jika kasus Tanjung Priok ini bisa diselesaikan, maka kasus HAM lainnya pun akan terjangkau. Bertepatan dengan 25 tahun terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok, besok, 12 September 2009, empat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengupayakan pemeriksaan ulang terhadap proses pengusutan yang selama ini telah berjalan di bawah Kejaksaan Agung.
Kasus Tanjung Priok berawal dari demo masyarakat di Jl Yos Sudarso, Jakarta Utara pada 1984. Saat itu terjadi penembakan oleh aparat terhadap pendemo. Ratusan orang tewas ditembak namun data dari kelurga korban sebanyak 80 orang tewas.
Pemerintah saat itu menyatakan ada islah antara korban dan pelaku sehingga korban mencabut kesaksian di persidangan. Namun keluarga korban mengatakan islah merupakan istilah pemerintah terhadap penyuapan yang dilakukan. Pemerintah tidak pernah minta maaf, memberikan penggantian dan juga merehabilitasi korban.
“Sebagai upaya memenuhi rasa keadilan yang selama ini ditunda, kami mengingatkan kepada Presiden SBY untuk mengupayakan kebijakan-kebijakan khusus sesuai kewenangannya agar hak-hak dasar korban pelanggaran HAM Tanjung Priok dapat terpenuhi yang didasarkan pada prinsip-prinsip HAM yang universal untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM di Tanjung Priok,” demikian seruan yang diterbitkan empat LSM pemerhati hak asasi manusia, Jumat (11/9).
Keempat LSM tersebut adalah Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Human Right Work Group (HRWG) dan IKAPPRI.
Peristiwa ini dinilai menjadi bagian dari sejarah hitam bangsa ini. Puluhan orang tewas, disiksa dan menjalani peradilan yang tidak adil dengan tuduhan mengganggu jalannya pemerintahan pada tahun 1980-an lalu. Peristiwa tersebut pun berdampak buruk bagi korban dan keluarganya. Mereka kehilangan pekerjaan, pendidikan bahkan memperoleh stigma negatif.
Meskipun Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas peristiwa ini di tahun 2000, namun hasil akhirnya sungguh mengecewakan. Penuntutan berjalan minimal dengan mengeluarkan nama-nama pelaku tingkat tinggi dan hanya menuntut prajurit lapangan.
Sebagian korban memang memilih islah dengan pelaku lalu mencabut kesaksian di persidangan. Namun hakim seharusnya tetap mempertahankan kesaksian awal yang mengandung kebenaran. “Kami menyesalkan semua pelaku dibebaskan sementara korban tidak mendapatkan hak-haknya berupa hak atas kebenaran, keadilan maupun kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Upaya gugatan perdata para korban untuk kompensasi, sayangnya, juga tidak dikabulkan hakim dengan alasan yuridis formal yang kaku,” demikian kutipan dari siaran pers tersebut.
Selain mendesak Presiden, keempat LSM melaporkan secara langsung berbagai kelemahan proses peradilan dalam peristiwa Tanjung Priok kepada PBB, khususnya dalam mekanisme Pelapor Khusus PBB untuk Peradilan Independen. Pelaporan ini bertujuan untuk mengingatkan ulang Pemerintah Indonesia bahwa proses hukum kasus Tanjung Priok semestinya merupakan peluang bagi pembaharuan proses hukum di negeri ini.
Disebutkan, dari kasus Tanjung Priok, berbagai upaya terobosan hukum telah lahir dan menjadi preseden yang konstruktif. Tapi juga mengingatkan kembali bahwa seluruh proses tersebut, masih banyak kelemahan dari berlakunya sistem dan mekanisme hukum nasional. Bahwa dampak dari kelemahan tersebut adalah berlangsungnya budaya impunitas, kekebalan hukum dan ketiadaan keadilan bagi korban. (inong)
Komentar